Kunjungan kamu ke Jogja tidak akan lengkap jika kamu belum datang ke alun-alun kota ini. Melihat perkembangan kota Jogja yang sangat pesat, ternyata masih banyak yang percaya dengan mitos alun-alun Jogja. Tidak sedikit pula pengunjung yang datang ke tempat ini ingin membuktikan kebenaran mitos tersebut.

Artikel ini akan membahas mengenai berbagai mitos alun-alun kidul yang hingga kini masih menyimpan banyak misteri. Alun-alun ini dianggap sebagai tempat keramat yang bisa membawa berkah bagi pengunjungnya. Untuk mengetahui lebih lanjut tentang hal ini, berikut adalah ulasannya:
Daftar Isi Artikel
Mitos Pernikahan Putri Keraton Yogyakarta
Mitos pertama yang menyelimuti alun-alun Kidul Jogja berkaitan dengan pernikahan putri mahkota dari Sultan Hamengkubuwono I. Saat itu, ada seorang pria yang memiliki keinginan untuk meminang sang putri namun putri tersebut tidak menyukainya. Sang putri lalu memberikan persyaratan kepada pria tersebut.
Persyaratannya adalah pria tersebut harus berhasil berjalan dari pendopo sebelah utara hingga pendopo sebelah selatan alun-alun. Perjalanan ini harus melewati pohon beringin kembar yang ada di tengah alun-alun Kidul. Jika dilakukan dengan mata terbuka, tentu hal ini tidak menjadi masalah.
Pria tersebut harus menggunakan penutup mata saat berjalan melewati pohon beringin kembar alun-alun Kidul Jogja. Dan sebagai hasilnya, pria tersebut gagal dalam tes dan tidak berhasil menjadikan sang putri sebagai istri.
Melihat kejadian ini, Sultan Hamengkubuwono I kemudian mengeluarkan titah mengenai sayembara untuk meminang sang putri. Ia bersabda hanya pemuda berhati baik dan tulus yang bisa berhasil melewati ujian yang diberikan oleh sang putri.
Setelah sayembara berlangsung, ada seorang pemuda yang berhasil memenangkan sayembara tersebut. Ia adalah seorang pemuda yang berasal dari Kerajaan Siliwangi. Pemuda tersebut kemudian berhasil menikahi putri keraton.
Tempat Prajurit Keraton Berlatih Dan Tradisi Masangin
Mitos selanjutnya tentang alun-alun ini adalah sebagai tempat berlatih perang bagi para prajurit keraton Jogja. Areanya yang luas membuat tempat ini dijadikan sebagai arena latihan berkuda, adu harimau, kompetisi memanah dengan kaki bersila dan latihan ketangkasan lainnya.
Semua kegiatan ini dilakukan di antara dua pohon beringin kembar. Kedua pohon ini sejak zaman dahulu dipercaya mengandung jimat keselamatan yang mampu mengusir bala dan musuh keraton Jogja. Oleh karena itu pohon beringin ini sangat dikeramatkan oleh masyarakat Jogja, termasuk para prajurit.

Untuk menjaga keselamatan keraton, para prajurit sering melakukan tradisi masangin. Masangin di pohon beringin kembar merupakan tradisi dimana para prajurit melakukan topo bisu saat malam 1 suro tiba. Topo bisu dilakukan dengan berjalan mengelilingi benteng tanpa mengucapkan sepatah kata pun.
Saat melakukan tradisi ini, setiap prajurit mengenakan pakaian adat Jawa tradisional secara lengkap dan berbaris dengan rapi. Halaman keraton merupakan awal dari perjalanan mereka hingga sampai serambi alun-alun. Rute yang mereka ambil harus melewati pohon beringin kembar.
Tradisi ini dilakukan oleh para prajurit karena mereka percaya hal ini sebagai bentuk doa terhadap Sang Pencipta. Doa ini bertujuan untuk melindungi keraton Jogja dari mara bahaya, khususnya dari serangan musuh.
Pada zaman penjajahan VOC, apabila ada tentara kompeni yang melewati kedua pohon ini, maka kekuatan yang mereka punya dipercaya bisa hilang. Jika ada orang yang berhasil melewati kedua pohon ini maka orang tersebut bisa melindungi kota Jogja.
Dari cerita pernikahan putri Sultan Hamengkubuwono I dan tradisi masangin inilah mitos mengenai pohon beringin kembar tetap dipercaya hingga saat ini.
Masangin: Melewati Pohon Beringin Kembar Dengan Mata Tertutup
Mitos yang paling terkenal di tempat ini adalah mitos pohon beringin kembar alun-alun Jogja. Hingga saat ini kedua pohon ini dipercaya bisa membawa berkah dan mampu mengabulkan berbagai macam permohonan. Supaya permohonan kamu bisa terkabul, kamu harus melakukan tradisi masangin.
Tradisi masangin yang dilakukan saat ini tidak sama dengan tradisi yang dilakukan oleh para prajurit keraton pada zaman dulu. Kamu tidak harus menggunakan pakaian adat Jawa atau datang ke alun-alun saat malam 1 suro tiba. Kamu hanya perlu berjalan di antara kedua pohon beringin tersebut dengan mata tertutup.
Biasanya di sekitar alun-alun akan ada orang lokal yang memberitahu garis start untuk memulai tradisi ini. Karena kamu berjalan dengan mata tertutup, pastinya kamu takut apabila menabrak sesuatu atau malah berjalan jauh dari pohon beringin kembar. Kamu bisa meminta bantuan teman kamu untuk mengawasi dari belakang.
Bisa dipastikan saat kamu melakukan tradisi ini, kamu bukanlah satu-satunya orang yang melakukannya. Setiap pengunjung yang baru datang pertama kali ke tempat ini pasti melakukan tradisi ini. Hampir semua dari mereka penasaran misteri yang menyelimuti pohon beringin kembar.
Jika dilihat dari sudut pandang penonton, orang-orang yang melakukan tradisi ini nampak lucu karena banyak dari mereka berjalan tidak lurus. Meskipun demikian, bisa dirasakan bagaimana kegigihan mereka untuk melewati pohon beringin kembar dengan mata tertutup.

Banyak orang yang gagal melakukan tradisi ini, tetapi tidak sedikit pula yang pantang menyerah dan memulainya lagi dari awal. Jika kamu berhasil melewati jalan diantara kedua pohon ini tanpa berbelok dengan mata tertutup, maka apapun permintaan yang kamu punya mungkin bisa terkabul.
Pintu Gerbang Menuju Laut Selatan
Mitos alun-alun kota Yogyakarta selanjutnya adalah pohon beringin kembar sebagai jalan masuk menuju Laut Selatan atau Segoro Kidul. Mitos ini mulai berkembang sejak masa pemerintahan Sultan Hamengkubuwono VI. Sudah bukan rahasia lagi jika Keraton Jogja memiliki hubungan yang kuat dengan Nyi Roro Kidul.
Nyi Roro Kidul adalah ratu yang menguasai Pantai Selatan Jogja. Masyarakat zaman dulu percaya bahwa hubungan Nyi Roro Kidul dengan keraton Jogja dimulai sejak pemerintahan Panembahan Senopati. Ia adalah orang yang mendirikan kerajaan Mataram.
Nyi Roro Kidul dipercaya memiliki “hubungan khusus” dengan Panembahan Senopati. Hubungan diantara keduanya dicatat oleh para pujangga Jawa kuno, yang kemudian dicurahkan melalui tembang atau lagu. Hubungan keraton dengan ratu Pantai Selatan juga dijadikan sebagai legitimasi raja yang memimpin keraton Jogja.
Setiap raja yang akan menaiki takhta, mereka sering memohon restu kepada Nyi Roro Kidul agar diberikan kekuatan untuk memimpin negara dengan baik. Untuk mempertahankan hubungan baik ini, masyarakat Jogja secara turun temurun melakukan tradisi Labuhan di pantai Laut Selatan.
Baca Juga:
Peta Wisata Jogja Ukuran Besar! Kumpulan 100 wisata Jogja Terbaru
Keindahan Kota Jogja Di Malam Hari, Malioboro Selalu Bikin Rindu
Pantai Gesing Gunung Kidul, Nikmati Sunset Di Atas Bukit
Penyeimbang Kota Jogja
Mitos Alun-Alun Keraton Jogja dipercaya sebagai tempat perjamuan dan istirahat para dewa. Tempat ini terbagi menjadi 2 bagian yaitu alun-alun utara (altar) yang berada di depan keraton dan alun-alun kidul atau selatan (alkid) yang berada di belakang keraton.
Alun-alun di bagian utara dipercaya sebagai tempat berkumpulnya orang-orang berwatak keras dan ribut. Sedangkan alun-alun bagian selatan adalah tempat berkumpul bagi orang-orang berwatak sejuk. Oleh sebab itu, alun-alun bagian selatan berfungsi sebagai penyeimbang.
Tempat ini juga dipercaya mampu memberikan ketentraman hati. Oleh karenanya, banyak orang pergi ke tempat ini untuk menenangkan hati atau seperti yang orang Jogja katakan untuk ngleremke ati. Entah hanya sekedar duduk-duduk, bercengkrama atau memandangi pohon beringin kembar.
Demikianlah ulasan artikel tentang berbagai mitos alun-alun Jogja. Pastikan jika kamu mengunjungi Jogja, kamu harus mencoba melakukan tradisi masangin, ya!